Sumber: Internet |
Simpang Lima terus berbenah.
Namun, proyek tersebut menyisakan permasalahan, khususnya bagi pedagang kaki
lima, pengamen, dan pengemis, yang selama ini mencari nafkah disana.
Siapa
yang tak kenal simpang lima? Kawasan yang menjadi pusat perkotaan di wilayah Semarang
ini selalu ramai di kunjungi oleh masyarakat dari dalam maupun luar kota. Dalam
kurun waktu 10 tahun, simpang lima menjelma menjadi ikon Kota Semarang selain
lawang sewu atau pandanaran.
Tak
jarang wisatawan yang berkunjung ke Semarang memasukkan simpang lima ke dalam
daftar tempat yang wajib dikunjungi. Berbeda dengan tempat wisata pada umumnya,
simpang lima menawarkan wisata kuliner khas Semarang yang mungkin tidak akan
ditemui di tempat lain. Ada tahu gimbal pak To dengan peyek udang yang gurih, pecel
Yu Sri yang terkenal dengan 21 jenis sayuran dalam satu porsi, loenpia semarang yang melegenda, nasi
ayam dengan kuah santan yang khas dan masih banyak jajanan lain yang tentunya
enak untuk dinikmati atau sekedar dicicipi.
Dulu,kawasan
simpang lima sering diidentikkan dengan kawasan malioboro yang ada di Jogjakarta.
Warung lesehan dipinggir jalan serta pengamen yang lalu lalang menghibur para
wisatawan menjadi titik kesamaan dari dua kawasan ini. Namun sekarang, kesamaan
tersebut mungkin tidak akan terlihat lagi.
Seiring
dengan misi dari pemerintah kota Semarang untuk memajukan sektor pariwisata, pembangunan
mulai dilakukan. Warung-warung
tenda dan lesehan yang ada di seputar alun-alun simpang lima disulap menjadi
tempat cantik yang berjejer rapi, lengkap dengan kursi dan meja serta cahaya
remang yang menambah indah suasana.
Trotoar
yang dulu sempit diperlebar sehingga pejalan kaki masih dapat berjalan disana
meski banyak tempat makan di sekelilingnya. Lapangan yang terdapat di tengah
alun-alun pun diubah menjadi ruang terbuka hijau yang multifungsi, lengkap
dengan lapangan upacara, lapangan basket, voli, dan joging track yang cukup
nyaman untuk berolahraga.
Tentunya,
perubahan ini disambut baik oleh hampir seluruh masyarakat di Semarang,
khususnya bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Sebagian besar dari
mereka merasa lebih nyaman dengan suasana baru yang ditawarkan pemerintah kota
meskipun tidak sedikit juga wisatawan yang merindukan suasana lama yang dianggap
lebih tenang dan merakyat.
Pembenahan
ini memang diperlukan apalagi mengingat tingginya jumlah kunjungan ke Semarang
namun di sisi lain ada dampak yang ditimbulkan dari adanya revitalisasi ini. Larangan
untuk mengamen di sekitar wilayah simpang lima ternyata membawa efek bagi
pengamen jalanan yang biasa mencari uang di sekitar wilayah tersebut.
Pengamen
jalanan yang mayoritas merupakan anak-anak putus sekolah yang hidup di jalan
kehilangan lahan basah untuk ‘bekerja’. Hasan (13), salah satu pengamen jalanan
mengatakan bahwa sekarang ia harus kucing-kucingan dengan personil keamanan
jika ingin mengamen di wilayah simpang lima.
“Kalau di jalan pahlawan kadang masih
boleh, tapi di warung warung sini wes rak
iso (red: sudah tidak bisa) ”,
ujar hasan yang sudah lama putus sekolah. “Teman-teman juga sudah banyak yang
pindah, bali omah (red :pulang ke
rumah), jadi tukang parkir cabutan, ada yang ke jakarta juga” jelas Hasan.
Kondisi ini jelas menyulitkan menurut Hasan, apalagi ia hanya tinggal bersama
neneknya yang juga menjadi pengemis di wilayah simpang lima.
Selain
larangan bagi para pengamen, larangan juga diterapkan bagi para pengemis yang
ada di kawasan simpang lima. Penertiban pengemis dilakukan untuk menciptakan
suasana yang nyaman bagi masyarakat maupun wisatawan yang ada di semarang.
“Banyak
masyarakat yang mengeluh tentang tingkah pengemis yang arogan dan kadang suka
memaksa”, ucap seorang petugas keamanan yang ditugaskan untuk menertibkan
kawasan simpang lima. Perlu diakui bahwa tindakan ini merupakan tindakan bagus
dan pantas untuk diapresiasi. Namun pemerintah kota tentu perlu mengadakan
pembinaan yang lebih intensif kepada para pengemis ini.
Masalah
pengemis atau anak jalanan merupakan masalah klasik yang sering terjadi di
kota-kota besar. Di satu sisi pemerintah mencoba untuk melakukan penertiban
demi kenyamanan dan keamanan masyarakat namun di sisi lain hal tersebut makin
memperparah keadaan kaum miskin seperti pengemis dan pengamen jika tindakan
yang tepat tidak diberlakukan pada kelompok masyarakat ini.
Pembangunan
simpang lima tidak hanya berdampak pada pengamen dan pengemis saja. Yuni (43),
pedagang kios rokok dan minuman yang dulu berjualan di trotoar simpang lima pun
merasakan dampak dari adanya pembangunan ini. “Sekarang kios saya sudah tidak
ada lagi, jadi saya terpaksa seperti ini,” jelas Yuni sambil menunggui anaknya
yang menjadi pengemis di kawasan simpang lima. ”Katanya biaya sewanya mahal,
sekitar 4 juta rupiah per bulan. saya tidak punya uang sebanyak itu”, kemudian
Yuni menambahkan bahwa ada beberapa pedagang yang juga ikut gulung tikar karena
tidak kebagian tempat untuk berjualan.
Rata-rata
dari mereka pindah dan berjualan keliling. Sebenarnya Yuni juga memiliki
pekerjaaan lain, yaitu menitipkan nasi bungkus ke warung atau angkringan namun
hasil yang didapat tidak sebanyak ketika dia berjualan di kios dulu.
Sebenarnya
hal-hal seperti ini telah diperhitungkan oleh pemerintah kota. Pada tanggal 31
Desember 2011 kemarin, Dinas Sosial telah memberikan uang sebesar Rp. 1.000.000
kepada pedagang ataupun pihak yang dinilai mendapat efek negatif dari
pembangunan ini.
Pemberian
dana tersebut dimaksudkan untuk digunakan sebagai modal usaha bagi mereka. Jika
dalam 6-12 bulan usaha masih tetap berjalan maka pihak Dinas Sosial akan
memberikan dana tersebut secara berkelanjutan. Hal itu diakui sendiri oleh
Yuni, ia mengatakan bahwa kemarin sempat mendapatkan modal dari Dinas Sosial
sebesar RP 1.000.000 . Sayangnya modal itu belum cukup untuk memulai usaha baru
terlebih lagi ia kehilangan gerobak serta meja yang biasa dibawanya ketika
berjualan.
Memang
tidak dapat digunakan satu mata saja untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi
di lapangan akibat dari pembangunan kawasan simpang lima ini. Pembangunan
kawasan simpang lima tentu memberikan nilai positif bagi perkembangan tempat
wisata ini. Apalagi banyak masyarakat yang menyambut baik perihal pembenahan di
kawasan simpang lima.
Tidak
sedikit masyarakat yang menyukai keadaan simpang lima saat ini. Simpang lima
dianggap lebih indah, bersih dan teratur sehingga membuat mereka nyaman untuk
sekedar datang atau mencicipi kuliner yang ada disana. Tapi jika dilihat dari
kacamata sosial, terdapat dampak yang nyata bagi para pengamen jalanan,
pengemis dan pedagang kecil seperti Yuni. Mereka kehilangan tempat untuk
bekerja dan lahan untuk mencari nafkah. Kehidupan yang terlanjur sulit membuat
mereka sulit untuk berkelit. Keadaan seakan-akan menjadi lebih buruk.
Pengamen
jalanan yang terdiri dari anak-anak putus sekolah semakin terlantar karena
tidak adanya wadah bagi mereka untuk berekspresi. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu untuk duduk atau sekedar nongkrong karena mengamen sudah
dilarang dan tak lagi bebas seperti dahulu. Sebagian mereka mengeluhkan tentang
sulitnya mendapat pengakuan, apalagi mereka hidup tanpa pendidikan. Inikah
wujud yang kita inginkan dari sebuah pembangunan?.
Jawabannya
tentu tidak. Pemerintah kota sebenarnya sudah sadar betul akan hal ini. Itu
mungkin alasan dari pemberian dana yang dilakukan oleh Dinas Sosial kepada
pihak-pihak tertentu yang dianggap mendapat kerugian. Pemerintah tentu
menginginkan yang terbaik bagi masyarakatnya, walau kadang untuk menciptakan
sebuah kebaikan ada pihak lain yang terkorbankan.
Tidak
relevan rasanya jika hanya melihat dampak negatif dari pembangunan kawasan simpang
lima. Namun lebih tidak relevan lagi jika pihak yang berwenang menutup mata
akan apa yang betul-betul terjadi di lapangan akibat adanya pembangunan ini.
Oleh karena itu, perlu ada tindakan yang lebih lanjut dan intensif dari
pemerintah untuk menangani setiap masalah yang timbul karena pengamen,
pengemis, pun pedagang kecil juga merupakan bagian dari masyarakat.
Jika
pembangunan simpang lima dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi
masyarakat, maka seharusnya kenyamanan para pengamen, pengemis dan pedagang
kecil juga di termasuk didalamnya. Pemberian pendidikan keterampilan dan
pembinaan yang berkelanjutan mungkin dapat membuat hidup mereka lebih
sejahtera. Sudikah "kita”
melihat itu? Sudahkah “kita” melakukan itu?
Mari
berbenah, pembangunan belum usai!
Ratri Furry
Pemimpin HRD LPM Edents 2010/2011
Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Post a Comment