Selamat datang di situs resmi LPM Edents FEB Undip

Pembangunan yang Belum Usai

Monday, December 3, 20120 comments

Sumber: Internet
Simpang Lima terus berbenah. Namun, proyek tersebut menyisakan permasalahan, khususnya bagi pedagang kaki lima, pengamen, dan pengemis, yang selama ini mencari nafkah disana.

Siapa yang tak kenal simpang lima? Kawasan yang menjadi pusat perkotaan di wilayah Semarang ini selalu ramai di kunjungi oleh masyarakat dari dalam maupun luar kota. Dalam kurun waktu 10 tahun, simpang lima menjelma menjadi ikon Kota Semarang selain lawang sewu atau pandanaran.

Tak jarang wisatawan yang berkunjung ke Semarang memasukkan simpang lima ke dalam daftar tempat yang wajib dikunjungi. Berbeda dengan tempat wisata pada umumnya, simpang lima menawarkan wisata kuliner khas Semarang yang mungkin tidak akan ditemui di tempat lain. Ada tahu gimbal pak To dengan peyek udang yang gurih, pecel Yu Sri yang terkenal dengan 21 jenis sayuran dalam satu porsi, loenpia semarang yang melegenda, nasi ayam dengan kuah santan yang khas dan masih banyak jajanan lain yang tentunya enak untuk dinikmati atau sekedar dicicipi.

Dulu,kawasan simpang lima sering diidentikkan dengan kawasan malioboro yang ada di Jogjakarta. Warung lesehan dipinggir jalan serta pengamen yang lalu lalang menghibur para wisatawan menjadi titik kesamaan dari dua kawasan ini. Namun sekarang, kesamaan tersebut mungkin tidak akan terlihat lagi.

Seiring dengan misi dari pemerintah kota Semarang untuk memajukan sektor pariwisata, pembangunan mulai dilakukan. Warung-warung tenda dan lesehan yang ada di seputar alun-alun simpang lima disulap menjadi tempat cantik yang berjejer rapi, lengkap dengan kursi dan meja serta cahaya remang yang menambah indah suasana.

Trotoar yang dulu sempit diperlebar sehingga pejalan kaki masih dapat berjalan disana meski banyak tempat makan di sekelilingnya. Lapangan yang terdapat di tengah alun-alun pun diubah menjadi ruang terbuka hijau yang multifungsi, lengkap dengan lapangan upacara, lapangan basket, voli, dan joging track yang cukup nyaman untuk berolahraga.

Tentunya, perubahan ini disambut baik oleh hampir seluruh masyarakat di Semarang, khususnya bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Sebagian besar dari mereka merasa lebih nyaman dengan suasana baru yang ditawarkan pemerintah kota meskipun tidak sedikit juga wisatawan yang merindukan suasana lama yang dianggap lebih tenang dan merakyat.

Pembenahan ini memang diperlukan apalagi mengingat tingginya jumlah kunjungan ke Semarang namun di sisi lain ada dampak yang ditimbulkan dari adanya revitalisasi ini. Larangan untuk mengamen di sekitar wilayah simpang lima ternyata membawa efek bagi pengamen jalanan yang biasa mencari uang di sekitar wilayah tersebut.

Pengamen jalanan yang mayoritas merupakan anak-anak putus sekolah yang hidup di jalan kehilangan lahan basah untuk ‘bekerja’. Hasan (13), salah satu pengamen jalanan mengatakan bahwa sekarang ia harus kucing-kucingan dengan personil keamanan jika ingin mengamen di wilayah simpang lima.

Kalau di jalan pahlawan kadang masih boleh, tapi di warung warung sini wes rak iso (red: sudah tidak bisa) ”, ujar hasan yang sudah lama putus sekolah. “Teman-teman juga sudah banyak yang pindah, bali omah (red :pulang ke rumah), jadi tukang parkir cabutan, ada yang ke jakarta juga” jelas Hasan. Kondisi ini jelas menyulitkan menurut Hasan, apalagi ia hanya tinggal bersama neneknya yang juga menjadi pengemis di wilayah simpang lima.

Selain larangan bagi para pengamen, larangan juga diterapkan bagi para pengemis yang ada di kawasan simpang lima. Penertiban pengemis dilakukan untuk menciptakan suasana yang nyaman bagi masyarakat maupun wisatawan yang ada di semarang.

“Banyak masyarakat yang mengeluh tentang tingkah pengemis yang arogan dan kadang suka memaksa”, ucap seorang petugas keamanan yang ditugaskan untuk menertibkan kawasan simpang lima. Perlu diakui bahwa tindakan ini merupakan tindakan bagus dan pantas untuk diapresiasi. Namun pemerintah kota tentu perlu mengadakan pembinaan yang lebih intensif kepada para pengemis ini.

Masalah pengemis atau anak jalanan merupakan masalah klasik yang sering terjadi di kota-kota besar. Di satu sisi pemerintah mencoba untuk melakukan penertiban demi kenyamanan dan keamanan masyarakat namun di sisi lain hal tersebut makin memperparah keadaan kaum miskin seperti pengemis dan pengamen jika tindakan yang tepat tidak diberlakukan pada kelompok masyarakat ini.

Pembangunan simpang lima tidak hanya berdampak pada pengamen dan pengemis saja. Yuni (43), pedagang kios rokok dan minuman yang dulu berjualan di trotoar simpang lima pun merasakan dampak dari adanya pembangunan ini. “Sekarang kios saya sudah tidak ada lagi, jadi saya terpaksa seperti ini,” jelas Yuni sambil menunggui anaknya yang menjadi pengemis di kawasan simpang lima. ”Katanya biaya sewanya mahal, sekitar 4 juta rupiah per bulan. saya tidak punya uang sebanyak itu”, kemudian Yuni menambahkan bahwa ada beberapa pedagang yang juga ikut gulung tikar karena tidak kebagian tempat untuk berjualan.

Rata-rata dari mereka pindah dan berjualan keliling. Sebenarnya Yuni juga memiliki pekerjaaan lain, yaitu menitipkan nasi bungkus ke warung atau angkringan namun hasil yang didapat tidak sebanyak ketika dia berjualan di kios dulu.

Sebenarnya hal-hal seperti ini telah diperhitungkan oleh pemerintah kota. Pada tanggal 31 Desember 2011 kemarin, Dinas Sosial telah memberikan uang sebesar Rp. 1.000.000 kepada pedagang ataupun pihak yang dinilai mendapat efek negatif dari pembangunan ini.

Pemberian dana tersebut dimaksudkan untuk digunakan sebagai modal usaha bagi mereka. Jika dalam 6-12 bulan usaha masih tetap berjalan maka pihak Dinas Sosial akan memberikan dana tersebut secara berkelanjutan. Hal itu diakui sendiri oleh Yuni, ia mengatakan bahwa kemarin sempat mendapatkan modal dari Dinas Sosial sebesar RP 1.000.000 . Sayangnya modal itu belum cukup untuk memulai usaha baru terlebih lagi ia kehilangan gerobak serta meja yang biasa dibawanya ketika berjualan.

Memang tidak dapat digunakan satu mata saja untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di lapangan akibat dari pembangunan kawasan simpang lima ini. Pembangunan kawasan simpang lima tentu memberikan nilai positif bagi perkembangan tempat wisata ini. Apalagi banyak masyarakat yang menyambut baik perihal pembenahan di kawasan simpang lima.

Tidak sedikit masyarakat yang menyukai keadaan simpang lima saat ini. Simpang lima dianggap lebih indah, bersih dan teratur sehingga membuat mereka nyaman untuk sekedar datang atau mencicipi kuliner yang ada disana. Tapi jika dilihat dari kacamata sosial, terdapat dampak yang nyata bagi para pengamen jalanan, pengemis dan pedagang kecil seperti Yuni. Mereka kehilangan tempat untuk bekerja dan lahan untuk mencari nafkah. Kehidupan yang terlanjur sulit membuat mereka sulit untuk berkelit. Keadaan seakan-akan menjadi lebih buruk.

Pengamen jalanan yang terdiri dari anak-anak putus sekolah semakin terlantar karena tidak adanya wadah bagi mereka untuk berekspresi. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk duduk atau sekedar nongkrong karena mengamen sudah dilarang dan tak lagi bebas seperti dahulu. Sebagian mereka mengeluhkan tentang sulitnya mendapat pengakuan, apalagi mereka hidup tanpa pendidikan. Inikah wujud yang kita inginkan dari sebuah pembangunan?.

Jawabannya tentu tidak. Pemerintah kota sebenarnya sudah sadar betul akan hal ini. Itu mungkin alasan dari pemberian dana yang dilakukan oleh Dinas Sosial kepada pihak-pihak tertentu yang dianggap mendapat kerugian. Pemerintah tentu menginginkan yang terbaik bagi masyarakatnya, walau kadang untuk menciptakan sebuah kebaikan ada pihak lain yang terkorbankan.

Tidak relevan rasanya jika hanya melihat dampak negatif dari pembangunan kawasan simpang lima. Namun lebih tidak relevan lagi jika pihak yang berwenang menutup mata akan apa yang betul-betul terjadi di lapangan akibat adanya pembangunan ini. Oleh karena itu, perlu ada tindakan yang lebih lanjut dan intensif dari pemerintah untuk menangani setiap masalah yang timbul karena pengamen, pengemis, pun pedagang kecil juga merupakan bagian dari masyarakat.

Jika pembangunan simpang lima dimaksudkan untuk menciptakan kenyamanan bagi masyarakat, maka seharusnya kenyamanan para pengamen, pengemis dan pedagang kecil juga di termasuk didalamnya. Pemberian pendidikan keterampilan dan pembinaan yang berkelanjutan mungkin dapat membuat hidup mereka lebih sejahtera. Sudikah "kita” melihat itu? Sudahkah kita” melakukan itu?
Mari berbenah, pembangunan belum usai!


Ratri Furry
Pemimpin HRD LPM Edents 2010/2011

Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2013. I Shunha-modif.web I LPM EDENTS - All Rights Reserved