Dalam konstelasi perekonomian dunia, sistem kapitalisme dan sosialisme merupakan 2 sistem yang
dianggap paling ekstrem dalam sistem percaturan ekonomi dunia. Sistem
kapitalisme pada umumnya diidentikkan dengan sistem ekonomi yang berbasis pada
kebebasan hak kepemilikan individu, bertumpu pada akumulasi modal sebagai mesin
pertumbuhan ekonomi, serta mengagungkan kekuatan mekanisme pasar dalam
menyelesaikan masalah. Para penganutnya menganggap pada jangka panjang segala
permasalahan akan terselesaikan dengan mekanisme pasar, campur tangan pemerintah
yang terlampau jauh justru akan mendistorsi atau merusak kedigdayaan kemampuan
pasar memperbaiki keadaan. Di titik seberangnya, kaum sosialis menganggap peran
pemerintah layaknya dewa yang dapat menjamin kesejahteraan masyarakatnya. Hak
pribadi diacuhkan dan kebebasan individu dibatasi. Dengan bertumpu pada
sentralisasi pemerintahan dan proses pengambilan keputusan, para penganut
intervensionis menawarkan konsep keadillan yang distributif.
Diusung oleh 2 negara adidaya di masa lampau
(AS dan Uni Soviet), hegemoni keduanya kemudian merasuk ke relung-relung
perekonomian negara-negara berkembang. Perang dingin antar kedua negara
indungnya berusaha menemukan sebanyak mungkin “pengikut”. Indonesia sebagai
negara yang memiliki anugerah sumber daya alam (SDA) melimpah, tak lepas dari sergapan tarik
menarik kedua kutub perekonomian tersebut.
Dalam perjalanannya, Indonesia yang telah
jera dan trauma dengan indung sistem pemerintahan dari sistem perekonomian
sosialis karena peristiwa 30 September 1965, tampaknya lebih condong menerima
dan mengembangbiakkan sistem kapitalis. Terlepas dari perdebatan panjang
tentang makna kapitalisme liberalisme yang sesungguhnya, serta penyempitan dan
penjelekkan makna kapitalisme di Indonesia masa kini, Indonesia memang telah
condong ke arah kapitalisme. Walaupun pada perkembangannya pula, Indonesia
seperti banyak negara di dunia, tidak murni menerapkan (terterapkan -red)
sistem kapitalisme.
Sumber: tubasmedia.com |
Amanah Konstitusi
Di ranah ilmu ekonomi, pasal 33 dalam UUD
1945 merupakan pasal yang krusial bagi perkembangan perekonomian Indonesia.
Menurut banyak ekonom, pasal 33 merupakan amanat konstitusi yang berkaitan
dengan sistem perekonomian yang seharusnya dianut Indonesia. Sistem
perekonomian yang dimaksud yakni sistem ekonomi kerakyatan. Dan pasal-pasal
yang termaktub didalamnya merupakan komponen pelengkap sistem ekonomi
kerakyatan tersebut.
Salah satu tokoh yang gigih memperjuangkan
ekonomi kerakyatan di era modern adalah Revrisond Baswir, Tim Ahli Pusat Studi
Ekonomi Kerakyatan Universitas Gadjah Mada. Dalam artikelnya yang
berjudul “Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme” (2010), ia menulis bahwa beberapa prinsip dasar
ekonomi kerakyatan antara lain: (1) perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas azas kekeluargaan; (2) cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai
oleh negara; dan (3) bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketiga
poin tersebut tidak lain adalah 3 ayat yang ada dalam pasal 33 UUD 1945.
Dalam artikel yang sama, Baswir juga menulis
bahwa ekonomi kerakyatan merupakan sistem ekonomi yang jauh berbeda dari sistem
ekonomi neoliberalisme. Ia juga terkesan membenci sistem liberalisme yang
berkembang di Indonesia. Menurutnya, neoliberalisme yang masuk di
Indonesia salah satunya oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di AS
(mafia Barkeley -red) hanya menyebabkan berbagai keburukan. Degradasi
lingkungan hasil eksploitasi besar-besaran hingga kesenjangan pendapatan
merupakan hasil dari neoliberalisme. Di akhir tulisannya, Baswir
berpendapat bahwa sudah semestinya ekonomi kerakyatan diterapkan di Indonesia, amanah konstitusi ditunaikan oleh pemimpin negeri ini, dan rakyat memilih pemimpin yang mempunyai visi menjauhkan
neoliberalisme dan menerapkan sistem ekonomi kerakyatan.
Belum Sempurna
Dalam tulisannya yang berjudul “Membumikan
Ekonomi Kerakyatan” (2011), Prof Munawar berangkat dari penjelasan mengenai
ekonomi kerakyatan dan demokrasi ekonomi. Ia juga berangkat dari pemikiran
Baswir bahwa demokrasi ekonomi merupakan nama lain dari ekonomi kerakyatan.
Namun Prof Munawar mengungkapkan demokrasi ekonomi yang terjadi di Indonesia
bersifat dualistik. Di satu sisi mengedepankan sifat individualitas dan
kebebasan pribadi, di sisi lain terdapat pemimpin yang mengawasi. Selanjutanya,
Prof Munawar menjelaskan penafsiran ekonomi kerakyatan yang bersifat parsial yang
lebih banyak terjadi di Indonesia. Bersifat parsial karena ada diskriminasi dan
pembedaan, dimana ujung tombak kebijakan berpusat pada kepentingan rakyat
kecil. Pada akhirnya, hal ini justru menyebabkan rakyat kecil terkurung dan
terpisah dari pusat kegiatan ekonomi nasional.
Pada akhir tulisannya, Prof Munawar
meragukan jika ekonomi kerakyatan yang bersifat holistik benar-benar
diterapkan, Indonesia dapat serta merta menjadi lebih baik. Menurutnya, hal ini dikarenakan ekonomi kerakyatan belum memiliki kelengkapan berupa sistem
dan subsistem yang jelas dan rinci. Sebagai contoh, sistem ekonomi kerakyatan
belum memiliki sistem kepemilikan yang jelas. Hal ini berbeda dengan sistem
kapitalis yang sudah jelas mengatur sistem kepemilikan. Misalnya berapa
proporsi dan bagaimana posisi kepemilikan individu dan kepemilikan bersama
dalam sistem ekonomi nasional. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan perbedaan
tafsir oleh pemerintahan yang berlangsung dan bermaksud menerapkan ekonomi
kerakyatan. Beda tafsir ini menyebabkan terputusnya rantai pembangunan antar
generasi, yang pada gilirannya menyebabkan kesejahteraan rakyat semakin sulit
tercapai.
Selaras dengan pemikiran Prof Munawar, Prof
Ahmad Erani dari Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya juga menganggap bahwa
pemahaman pasal 33 ayat 1 sebagai “kotak hitam yang belum terselesaikan.” Dalam
tulisan berjudul “Memantapkan Ekonomi Konstitusi” (2013), Prof Erani mengusulkan 5 hal untuk dilakukan dalam rangka penerapan ekonomi
kerakyatan, yakni: (1) aset produktif harus berada di tangan rakyat, bukan
dikuasai oleh segelintir pelaku ekonomi. Aset produktif yang paling penting
adalah tanah dan modal; (2) produksi dan distribusi ekonomi di tangan rakyat
(dengan spirit koperasi), kecuali untuk sektor-sektor tertentu yang memerlukan
penguasaan teknologi ataupun kebutuhan modal yang besar; (3) kebijakan
permodalan yang mudah diakses oleh rakyat dan murah; (4) penguatan organisasi
ekonomi rakyat, baik dalam bidang produksi, distribusi, pemasaran, dan
lain-lain; dan (5) struktur pasar yang memihak pelaku ekonomi rakyat dengan
jalan mengembangkan kerjasama usaha, bukan persaingan usaha.
Keraguan akan masa depan ekonomi kerakyatan
sebagai sistem ekonomi khas Indonesia memang berdasar. Sebagai amanah
konstitusi, ekonomi kerakyatan memang merupakan amanah dari founding
father republik ini. Namun begitu, tidak serta merta kita harus
melaksanakannya tanpa persiapan yang matang. Sistem yang tidak tersistem dan
terrencana, justru berpeluang menghambat proses penyejahteraan rakyat sebagai
visi bangsa. Namun jika nantinya benar-benar diterapkan, ekonomi kerakyatan
harus disesuaikan dengan nilai kehidupan bangsa ini. Dapatkah bentuk holistik
dari sistem ekonomi kerakyatan diterapkan? Patut dipertanyakan. (hya)
Daftar Pustaka
Baswir, Revrisond. 2010.
Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme.
Erani, Ahmad. 2013. Memantapkan Ekonomi Konstitusi. Dimuat
dalam harian “Seputar Indonesia” edisi 28 Februari 2013.
Ismail, Munawar. 2011. Membumikan Ekonomi Kerakyatan. Dimuat
dalam koran “Inspirasi” edisi Maret 2011.
Hendy Aprilian Hidayat
Pemimpin Umum LPM Edents 2012/2013
Post a Comment