Salah satu masalah telak yang membayangi
kehidupan masyarakat berbagai bangsa di belahan dunia manapun adalah
kemiskinan. Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan,
dan kesehatan.
Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan(Wikipedia.com).
Sumber: Internet |
Badan Pusat Statistik menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar sedangkan Bank Dunia mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian, yaitu pendapatan di bawah 2 dollar AS/hari.
Indikator Kemiskinan
Indikator kemiskinan menurut Bappenasadalah terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan, terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi, terbatasnya akses terhadap air bersih, lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, lemahnya jaminan rasa aman, lemahnya partisipasi, dan besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi.
Ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan dengan paritas kekuatan pembelian, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar AS per hari dan 2 dollar AS per hari (Tamar Manuelyan Atinc).
Bank Dunia melaporkan bahwa 49% dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Dalam hitungan per kepala, 49% dari seluruh penduduk Indonesia berarti 108,78 juta jiwa dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia (Prihartini, 2006).
Menurut Bank Dunia(2003), penyebab dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3) kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak berwawasan lingkungan.
Berdasarkan data diatas, maka jumlah penduduk miskin yang ada di desa mengalami penurunan. Menurut Tim Nasional Percepatan Penanggulan Kemiskinan (TNP2K) (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia) pada Bulan Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15 persen). Dibandingkan dengan penduduk miskin pada Bulan Maret 2008 yang berjumlah 34,96 juta (15,42 persen), berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,43 juta.
Meningkatkan Kesejahteraan bukan Mengentasakan Kemiskinan
Marilah kita sejenak meninggalkan perdebatan mengenai definisi kemiskinan, sementara kita berdebat masalah definisi seperti ini mengapa tidak menggunakan paradigma baru dari upaya penanggulangan ini?
Mengutip perkataan Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina) dalam acara Seminar Nasional Indonesia Mengajar di Universitas Diponegoro beberapa waktu yang lalu, bahwa dulu ketika baru merdeka, target program pemerintah adalah meningkatkan kesejahteraan, bukan mengurangi kemiskinan, padahal penduduk pada waktu itu bisa dikatakan semuanya miskin.
Tentu saja mengenai persepsi. Selama ini kita mengasumsikan bahwa seseorang yang tidak mampu secara ekonomi itu adalah orang miskin. Sementara garis batas kemiskinan itu sendiri menjadi tidak jelas karena masih menjadi perdebatan yang belum selesai.
Mengapa program yang dilaksanakan “Peningkatan Kesejahteraan”, dengan begitu kita wajib menyejahterakan penduduk yang dianggap belum sejahtera. Bagaimana konsep sejahtera? Bukankah itu hal yang abstrak? Inilah tugas kita untuk merumuskan apa itu kesejahteraan, namun apa maksud dibalik itu semua?
Disana kita melihat ada keoptimisan dari pemerintah dan program itu sendiri. Sehingga kesejahteraan dapat ditingkatkan. Berbeda analoginya apabila dengan mengurangi tingkat kemiskinan, kita selalu dibayangi persepsi buruk tentang kemiskinan dan kelaparan.
Belum lagi masalah adanya beras miskin, rumah miskin dan lain-lainnya. Hal ini seolah-olah menempatkan mereka yang miskin menjadi miskin, bukankah tujuan kita untuk mengurangi jumlah orang miskin?
Pada akhirnya kemiskinan dan kesejahteraan adalah titik ekstrim diantara dua kutub pilihan atau nasib bangsa kita. Pilihan untuk mengurangi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mungkin saja tidak berarti banyak bagi pemerintah, namun sekali lagi perception is more than reality.
Sandy Juli Maulana
Sidang Redaksi LPM Edents 2010/2011
Artikel ini juga dimuat dalam Majalah Edents Vol. 16
Artikel ini juga dimuat dalam Majalah Edents Vol. 16
Post a Comment