Ing Ngarso Sung TulodoIng Madya Mangun KarsaTut Wuri Handayani
Dua Mei merupakan hari kelahiran
pahlawan pendidikan, Ki Hajar Dewantara,
yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional atau kerap disingkat
dengan Hardiknas. Menilik sistem pendidikan Ibu Pertiwi, rasa-rasanya masih ada
secercah harapan untuk
menjadikannya lebih baik. “Terlalu banyak harapan untuk pendidikan di negeri
ini. Semoga pendidikan bisa memanusiakan manusia,” kata Iman Usman di akun
twitternya (2/5).
Ironis! Pendidikan yang seyogyanya
menjadi pilar utama pembentukan karakter bangsa juga pondasi pembangunan
masyarakat kerap dinodai persoalan yang tak berujung. Ujian Nasional yang
diselenggarakan setiap tahun selalu membawa cerita yang berbeda. Pun isu temporer
menyoal pergantian kurikulum yang menjadi polemik di berbagai kalangan.
Tidak meratanya penyebaran fasilitas
pendidikan juga menjadi fenomena yang berhasil membuat sebagian orang mengelus
dada. Memang, pendidikan tak sebatas pada ketersediaan sarana penunjang
kegiatan belajar mengajar saja, lebih dari itu, kehadiran seorang guru yang
dinantikan setiap paginya menambah deret panjang persoalan pendidikan tanah air
kita, Indonesia.
Beruntungnya, negeri yang sempat
dijuluki zambrud khatulistiwa ini masih memiliki generasi yang gerah akan
keberlanjutan pendidikan nasional, meski hasil pendataan Trends in
International Mathematics and Science Studies (TIMSS) dan Progress in
International Reading Leteracy Study (PIRLS) menunjukkan bahwa kemampuan
membaca anak Indonesia rendah. Ya, paradigma dunia pendidikan selalu menjadi
sebuah catatan menarik.
Pendidikan tak sepantasnya diserahkan
pada birokrat sepenuhnya. Bak berada di lingkaran setan, pendidikan sudah
seharusnya menjadi tanggungjawab bersama. Yang guru, dosen, jadilah pengajar
pun pendidik. Yang siswa, mahasiswa, jadilah pelajar yang berdaya juang tinggi,
tak sekedar datang dan duduk manis di bangku kelas. Yang suka complain juga mengklaim UN bermasalah,
carut marut usulan kurikulum 2013, sudah saatnya turun tangan, ambil bagian
dalam perubahan: be an agent of change!
“Jangan merasa paling cinta Indonesia karena berbahasa Indonesia, tapi tidak pernah berbuat apa pun untuk Indonesia. Tidak salah punya kemampuan berbahasa asing selama digunakan untuk mewakili Indonesia dengan baik di mata dunia. Jangan sempit kecintaanmu terhadap Indonesia. Cinta sesuatu bisa dilakukan tanpa anti terhadap yang lain.” – Pandji Pragiwaksono (penulis buku Berani Mengubah).
Mengenai generasi yang gerah akan
kondisi pendidikan nasional, salah satunya dapat dilihat dari tingginya
antusiasme pemuda Indonesia yang berebut untuk kemudian dikirim ke remote area, menjadi guru SD setahun
lamanya bersama Indonesia Mengajar. Didasari oleh janji kemerdekaan:
Mencerdaskan kehidupan bangsa, Indonesia Mengajar hadir bak oase di tengah gurun pasir.
Gerakan yang dicetuskan oleh Anies
Baswedan ini mengajak lulusan-lulusan terbaik di Indonesia untuk menjadi guru
di daerah-daerah terpencil. Di
sana,
para Pengajar Muda mengenalkan mimpi pada putra-putri daerah yang sarana
pendidikannya serba terbatas. Selain itu juga mengenalkan ‘mimpi’ kepada mereka
pun bagaimana mewujudkannya. Saat ini di beberapa perguruan tinggi di Indonesia
mulai bermunculan organisasi nirlaba semacam ini, Gadjah Mada Mengajar, UI
Mengajar, Unair Mengajar, misalnya.
Ada pula SabangMerauke yang didirikan
oleh tiga co-foundersnya, yaitu
Aichiro Suryo Prabowo, Ayu Kartika Dewi, dan Dyah Widiastuti. Gerakan yang
berlandaskan semangat kebhinekaan ini memfasilitasi siswa SMP, khususnya yang
berada di wilayah yang pernah mengalami konflik horizontal untuk datang ke
Jakarta merasakan ‘atmosfer’ yang berbeda selama dua minggu.
Kepedulian tak hanya datang dari mereka
yang sempurna secara fisik, Ibu Fitri Nugrahaningrum, seorang tunanetra yang tak pernah merasa rugi
atas keadaannya. Berangkat dari rasa
prihatin atas celoteh
anak jalanan, ia dirikan TPA Samara untuk anak-anak yang kurang mampu juga
yatim-piatu.
Selain itu, hadir pula Butet Manurung
dengan Sakola-nya di tengah masyarakat rimba. MASTER (Masjid Terminal Depok)
yang menyerupai sekolah terbuka dimana siswa-siswanya diberi pelatihan yang
salah satu tujuannya ialah untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian masuk
perguruan tinggi.
Jika menengok ke belakang, presiden
pertama kita, Soekarno, pada 18 Maret 1948 memimpin langsung Gerakan
Pemberantasan Buta Huruf di Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta. Pelaksanaan
pemberantasan buta huruf dirasakan sangat lambat oleh tokoh-tokoh politik dan
pendidikan bangsa kita. Hingga berakhirnya penjajahan Belanda di bumi Indonesia,
baru 7 persen dari jumlah penduduk
yang melek huruf (Soekarno, Aristides Katoppo, 1981).
Raden Ajeng Kartini juga mengajar. Dalam
pandangan rekan seperjuangan Belandanya, Kartini melambangkan summum bonum kekuasaan kolonial Belanda
yang “memperoleh pencerahan” dalam bias “modern”, tanpa kehilangan identitas
Jawa anggun: ia mewujudkan hasil nyata suatu bentuk pendidikan yang peka budaya
namun mantap (Frances Gouda, 2007).
Kartini mengangkat harkat dan martabat
kaum pribumi. Masa itu, perempuan pribumi tidak boleh mengenyam bangku sekolah
kecuali keturunan bangsawan. Kaum perempuan hanya bertugas melaksanakan kegitan
rumah tangga, seperti memasak, menyapu, mencuci pakaian, dan lain sebagainya.
Kartini kemudian mendirikan sekolah gratis bagi perempuan Indonesia yang diberi
nama “Sekolah Kartini”.
Meletakkan potret kepedulian pendidikan masa lalu dan
kini sepatutnya membuat kita membelalakkan mata. Mengapa demikian? Hal tersebut
menggambarkan tren gerakan pendidikan yang memang sudah ada sejak dahulu kala. Ya,
lilin itu masih dan akan terus menyala! (hya)
Nurul Qolbi
Redaktur Pelaksana Online LPM Edents 2013
Artikel ini dimuat dalam Koran Edents (Kordents) Vol. 5 Edisi 6 -17 Mei 2013
Post a Comment