Sumber: Internet |
Kenaikan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis premium mulai 1 April 2012 sebesar
33,3 persen dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter akan menghemat subsidi
sebesar Rp 31,58 Triliun. Itu berarti kalau harga BBM tidak dinaikkan terjadi
pembengkakan subsidi dalam jumlah yang sama. Maka keputusan menaikkan harga BBM
sudah menjadi pilihan yang paling rasional.
Sebelumnya
pemerintah masih terus mewacanakan penjatahan BBM bersubsidi dibanding opsi
menaikkan. Tapi tanpa ada sistem yang efektif jelas kebijakan itu hanya menjadi
macan kertas. Bahkan pemerintah menjadi bahan olok-olok karena hanya bisa
mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk membeli BBM nonsubsidi. Yang
namanya pemerintah itu ya memerintah bukan mengimbau.
Beban
subsidi dalam RAPBN kita memang semakin berat. Dari tahun ke tahun angkanya
terus meninggi, karena peningkatan konsumsi seiring dengan laju pertumbuhan
ekonomi. Subsidi BBM tahun 2010 masih mencapai Rp 82,3 Triliun kemudian tahun
2011 lalu melonjak menjadi Rp 129,7 Triliun. Pada tahun ini (RAPBN 2012)
subsidi BBM dipatok Rp 123,5 Triliun sehingga diperlukan pemangkasan subsidi
dengan menaikkan harga BBM.
Subsidi
ekonomi masih mungkin dilakukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin. Tetapi
subsidi BBM tidak bisa dikatakan tepat sasaran karena yang mengkonsumsi paling
banyak justru bukan dari kelompok itu. Maka meningkatkan subsidi BBM dan
mempertahankan harga premium sebenarnya hanya akan dinikmati manfaatnya oleh
kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kemampuan. Anggaran negara pun akan
jebol kalau harus terus menerus memberikan subsidi karena di samping
peningkatan konsumsi BBM yang tinggi juga tendensi kenaikan harga minyak dunia
yang masih akan terjadi dalam tahun-tahun mendatang.
Menjadi
pertanyaan, apakah mungkin kita hidup tanpa subsidi? Apa yang terjadi kalau
harga BBM dilepas saja ke pasaran seperti harga pertamax yang sekarang sekitar
Rp 9.500 per liter. Jawabanya sangat mungkin, karena di negara lain seperti
Malaysia, harga BBM jauh lebih tinggi. Memang akan terasa berat di awalnya
namun lama kelamaan masyarakat akan menyesuaikan sendiri pola pengeluarannya.
Dan secara teroritis, ekonomi tanpa subsidi justru lebih mengefisienkan dan
negara pun mempunyai kemampuan lebih untuk mendorong pembangunan infrastruktur
dan meningkatkan program-program kesejahteraan social yang langsung berhubungan
dengan orang miskin.
Hanya
saja ada beberapa alasan yang bisa dijadikan argumentasi untuk menolak gagasan
untuk menghapuskan subsidi secara total. Pertama, pendapatan per kapita
masyarakat Indonesia masih rendah, sekitar 3.000 Dolar AS per tahun. Maka
subsidi tetap bersifat meringankan. Kedua, BBM bisa dibuat mahal tetapi
kompensasi yang diberikan juga harus ada yakni perbaikan transportasi umum.
Jadi yang disubsidi bukan kendaraan pribadi melainkan angkutan umum. Ketiga,
alasan politis mengakibatkan pemerintahan di era mana pun belum berani
melakukan kebijakan yang tidak populis.
Dari
alasan-alasan tersebut dapatlah dipahami bahwa penghapusan subsidi hanya
mungkin dilakukan bertahap. Yang penting tahapannya itu jelas sehingga tidak
selamanya masyarakat menggantungkan pada subsidi negara yang nyata-nyata juga
kurang adil karena tidak sesuai sasaran yang dikehendaki. Alangkah lebih baik apabila
dana subsidi yang lebih Rp 120 Triliun itu dialihkan untuk program-program yang
bisa langsung memberikan manfaat dan daya dorong bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat terutama mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
Politik
ekonomi dan ekonomi politik ibarat dua sisi dari satu mata uang. Politik
ekonomi adalah kebijakan ekonomi secara makro yang biasanya didasarkan atas
tiga prinsip yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Tetapi ekonomi
politik adalah kebijakan ekonomi yang di drive oleh kepentingan politik
penguasa atau elite tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks ini kebijakan
mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM selalu menjadi pilihan terakhir
kalau kondisinya sudah benar-benar memaksa. Karena dampak sosial politiknya sangat
besar di samping dampak ekonominya pun, seperti kenaikan laju inflasi, tak
boleh dianggap enteng.
Arah
kebijakan penghapusan subsidi secara bertahap sudah tepat namun pada saat yang
sama pemerintah perlu berkonsentrasi dan menambah kecepatan dalam membangun
infrastruktur khususnya di bidang transportasi. Sudah saatnya pola subsidi
mulai ditinggalkan karena terbukti banyak salah sasaran namun sebagai gantinya
bukanlah model pemberian bantuan langsung tunai ala sinterklas karena itu hanya
memberi hiburan sesaat dan menambah ketergantungan. Ajaran orang bijak selalu
mengatakan berilah kail dan bukan ikan.
Tetapi
lagi-lagi kepentingan politik seringkali lebih mendominasi. Bantuan langsung
tunai selain mudah diselewengkan bisa dijadikan alat kampanye politik.
Popularitas pemerintah akan naik karena rakyat yang mendapatkan uang tunai
pasti akan memberikan respons positif. Apalagi di Indonesia politik masih serba
uang dan money politics bisa tumbuh subur justru di wilayah pedesaan.
Sejak
awal pola seperti itu ditolak namun pemerintah punya dalih mengingat waktu yang
terbatas maka pola dana charity itu dianggap lebih tepat. Padahal dalam jangka
menengah dan panjang pembenahan yang lebih bersifat structural seperti
infrastruktur, pendidikan dan kesehatan seharusnya lebih diutamakan.
Inilah
kelemahan kebijakan ekonomi pemerintah sekarang yang tak mempunyai program
rigid untuk jangka menengah dan panjang seperti di masa Orde Baru. Seharusnya
penghapusan subsidi secara bertahap juga dimasukkan dalam kerangka planning
seperti itu sehingga tidak akan menimbulkan gejolak. Biarkanlah para politikus
di negeri ini mencari isu lain selain masalah subsidi BBM karena politisasi
masalah ekonomi selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan
sebaliknya sering menambah keruh suasana sehingga menjadi tidak produktif.
Ekonomi
yang tanpa subsidi bagaimana pun lebih menyehatkan bukan saja bagi pemerintah
dan negara melainkan juga masyarakat karena mekanisme pasar akan lebih berjalan
riil dan efisiensi pasti meningkat. Kalau kita sudah percaya pada rezim pasar
maka tak usahlah untuk ragu menghapus subsidi. Subsidi sebenarnya merupakan
racun dan bukan obat yang bisa menyehatkan perekonomian.
Sayangnya
banyak ekonom di Indonesia sejak Orde Baru yang kurang percaya penuh pada
mekanisme pasar. Mereka kebanyakan Keynesian yang lebih percaya kepada
intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal dimana pemberian subsidi pun
menjadi bagian darinya. Memang itu tidak salah dan di negara manapun, termasuk
yang paling kapitalis, peranan pemerintah masih sangat besar. Hanya saja perlu
diingatkan bahwa intervensi lebih kepada upaya menunjang sektor riil dan bukan
sekadar memberikan subsidi yang justru mendorong inefisiensi.
Sasongko Tedjo
Alumnus FE Undip Angkatan 79, Pemimpin Redaksi Edents
1981-1983, sekarang Direktur Pemberitaan Suara Merdeka
Artikel ini dimuat dalam Majalah Edents dengan Tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Artikel ini dimuat dalam Majalah Edents dengan Tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Post a Comment