Selamat datang di situs resmi LPM Edents FEB Undip

Ekonomi (tanpa) Subsidi

Friday, November 30, 20120 comments

Sumber: Internet
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis  premium mulai 1 April 2012 sebesar 33,3 persen dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter akan menghemat subsidi sebesar Rp 31,58 Triliun. Itu berarti kalau harga BBM tidak dinaikkan terjadi pembengkakan subsidi dalam jumlah yang sama. Maka keputusan menaikkan harga BBM sudah menjadi pilihan yang paling rasional.

Sebelumnya pemerintah masih terus mewacanakan penjatahan BBM bersubsidi dibanding opsi menaikkan. Tapi tanpa ada sistem yang efektif jelas kebijakan itu hanya menjadi macan kertas. Bahkan pemerintah menjadi bahan olok-olok karena hanya bisa mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk membeli BBM nonsubsidi. Yang namanya pemerintah itu ya memerintah bukan mengimbau.

Beban subsidi dalam RAPBN kita memang semakin berat. Dari tahun ke tahun angkanya terus meninggi, karena peningkatan konsumsi seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi. Subsidi BBM tahun 2010 masih mencapai Rp 82,3 Triliun kemudian tahun 2011 lalu melonjak menjadi Rp 129,7 Triliun. Pada tahun ini (RAPBN 2012) subsidi BBM dipatok Rp 123,5 Triliun sehingga diperlukan pemangkasan subsidi dengan menaikkan harga BBM.

Subsidi ekonomi masih mungkin dilakukan untuk membantu kelompok masyarakat miskin. Tetapi subsidi BBM tidak bisa dikatakan tepat sasaran karena yang mengkonsumsi paling banyak justru bukan dari kelompok itu. Maka meningkatkan subsidi BBM dan mempertahankan harga premium sebenarnya hanya akan dinikmati manfaatnya oleh kelompok masyarakat yang sudah mempunyai kemampuan. Anggaran negara pun akan jebol kalau harus terus menerus memberikan subsidi karena di samping peningkatan konsumsi BBM yang tinggi juga tendensi kenaikan harga minyak dunia yang masih akan terjadi dalam tahun-tahun mendatang.

Menjadi pertanyaan, apakah mungkin kita hidup tanpa subsidi? Apa yang terjadi kalau harga BBM dilepas saja ke pasaran seperti harga pertamax yang sekarang sekitar Rp 9.500 per liter. Jawabanya sangat mungkin, karena di negara lain seperti Malaysia, harga BBM jauh lebih tinggi. Memang akan terasa berat di awalnya namun lama kelamaan masyarakat akan menyesuaikan sendiri pola pengeluarannya. Dan secara teroritis, ekonomi tanpa subsidi justru lebih mengefisienkan dan negara pun mempunyai kemampuan lebih untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan meningkatkan program-program kesejahteraan social yang langsung berhubungan dengan orang miskin.

Hanya saja ada beberapa alasan yang bisa dijadikan argumentasi untuk menolak gagasan untuk menghapuskan subsidi secara total. Pertama, pendapatan per kapita masyarakat Indonesia masih rendah, sekitar 3.000 Dolar AS per tahun. Maka subsidi tetap bersifat meringankan. Kedua, BBM bisa dibuat mahal tetapi kompensasi yang diberikan juga harus ada yakni perbaikan transportasi umum. Jadi yang disubsidi bukan kendaraan pribadi melainkan angkutan umum. Ketiga, alasan politis mengakibatkan pemerintahan di era mana pun belum berani melakukan kebijakan yang tidak populis.

Dari alasan-alasan tersebut dapatlah dipahami bahwa penghapusan subsidi hanya mungkin dilakukan bertahap. Yang penting tahapannya itu jelas sehingga tidak selamanya masyarakat menggantungkan pada subsidi negara yang nyata-nyata juga kurang adil karena tidak sesuai sasaran yang dikehendaki. Alangkah lebih baik apabila dana subsidi yang lebih Rp 120 Triliun itu dialihkan untuk program-program yang bisa langsung memberikan manfaat dan daya dorong bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Politik ekonomi dan ekonomi politik ibarat dua sisi dari satu mata uang. Politik ekonomi adalah kebijakan ekonomi secara makro yang biasanya didasarkan atas tiga prinsip yakni pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Tetapi ekonomi politik adalah kebijakan ekonomi yang di drive oleh kepentingan politik penguasa atau elite tertentu dalam masyarakat. Dalam konteks ini kebijakan mengurangi subsidi dan menaikkan harga BBM selalu menjadi pilihan terakhir kalau kondisinya sudah benar-benar memaksa. Karena dampak sosial politiknya sangat besar di samping dampak ekonominya pun, seperti kenaikan laju inflasi, tak boleh dianggap enteng.

Arah kebijakan penghapusan subsidi secara bertahap sudah tepat namun pada saat yang sama pemerintah perlu berkonsentrasi dan menambah kecepatan dalam membangun infrastruktur khususnya di bidang transportasi. Sudah saatnya pola subsidi mulai ditinggalkan karena terbukti banyak salah sasaran namun sebagai gantinya bukanlah model pemberian bantuan langsung tunai ala sinterklas karena itu hanya memberi hiburan sesaat dan menambah ketergantungan. Ajaran orang bijak selalu mengatakan berilah kail dan bukan ikan.

Tetapi lagi-lagi kepentingan politik seringkali lebih mendominasi. Bantuan langsung tunai selain mudah diselewengkan bisa dijadikan alat kampanye politik. Popularitas pemerintah akan naik karena rakyat yang mendapatkan uang tunai pasti akan memberikan respons positif. Apalagi di Indonesia politik masih serba uang dan money politics bisa tumbuh subur justru di wilayah pedesaan.

Sejak awal pola seperti itu ditolak namun pemerintah punya dalih mengingat waktu yang terbatas maka pola dana charity itu dianggap lebih tepat. Padahal dalam jangka menengah dan panjang pembenahan yang lebih bersifat structural seperti infrastruktur, pendidikan dan kesehatan seharusnya lebih diutamakan.

Inilah kelemahan kebijakan ekonomi pemerintah sekarang yang tak mempunyai program rigid untuk jangka menengah dan panjang seperti di masa Orde Baru. Seharusnya penghapusan subsidi secara bertahap juga dimasukkan dalam kerangka planning seperti itu sehingga tidak akan menimbulkan gejolak. Biarkanlah para politikus di negeri ini mencari isu lain selain masalah subsidi BBM karena politisasi masalah ekonomi selamanya tidak akan pernah menyelesaikan masalah dan sebaliknya sering menambah keruh suasana sehingga menjadi tidak produktif.

Ekonomi yang tanpa subsidi bagaimana pun lebih menyehatkan bukan saja bagi pemerintah dan negara melainkan juga masyarakat karena mekanisme pasar akan lebih berjalan riil dan efisiensi pasti meningkat. Kalau kita sudah percaya pada rezim pasar maka tak usahlah untuk ragu menghapus subsidi. Subsidi sebenarnya merupakan racun dan bukan obat yang bisa menyehatkan perekonomian.

Sayangnya banyak ekonom di Indonesia sejak Orde Baru yang kurang percaya penuh pada mekanisme pasar. Mereka kebanyakan Keynesian yang lebih percaya kepada intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal dimana pemberian subsidi pun menjadi bagian darinya. Memang itu tidak salah dan di negara manapun, termasuk yang paling kapitalis, peranan pemerintah masih sangat besar. Hanya saja perlu diingatkan bahwa intervensi lebih kepada upaya menunjang sektor riil dan bukan sekadar memberikan subsidi yang justru mendorong inefisiensi.

Sasongko Tedjo
Alumnus FE Undip Angkatan 79, Pemimpin Redaksi Edents 1981-1983, sekarang Direktur Pemberitaan Suara Merdeka

Artikel ini dimuat dalam Majalah Edents dengan Tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2013. I Shunha-modif.web I LPM EDENTS - All Rights Reserved