Selamat datang di situs resmi LPM Edents FEB Undip

Langkah Alernatif selain Impor Beras

Thursday, December 20, 20120 comments


Akhir-akhir ini perhatian masyarakat dan para ahli serta pengamat ekonomi tertuju kepada masalah impor beras. Banyak yang menentang kebijakan impor beras karena dianggap langkah tersebut merugikan petani.  Logikanya adalah dengan impor beras maka pasokan beras di dalam negeri akan berlimpah. Maka sesuai hukum ekonomi kalau kebutuhan atau permintaan suatu barang tetap sementara pasokan  atau penawarannya bertambah maka harga barang tersebut akan turun. Turunnya harga inilah yang dianggap merugikan petani.  

Sumber: Internet
Sementara itu pemerintah melakukan pembelaan terhadap kebijakan impor beras tersebut. Menurut pemerintah  beras impor tersebut tidak akan dijual atau  masuk ke pasaran. Langkah impor beras hanya dilakukan pemerintah untuk mengamankan stok atau persediaan karena dianggap persediaan beras nasional sudah menipis. Karena beras impor tidak dijual  di pasar maka harga tidak akan jatuh dan petani tidak akan dirugikan. 

Tetapi pembelaan pemerintah tersebut tampaknya sulit diterima oleh mereka yang menentang. Pertama, tidak ada jaminan bahwa beras impor tidak akan masuk ke pasaran karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Kedua, langkah tersebut bisa “ditunggangi” oleh beberapa importir untuk mengimpor beras dan akhirnya menjualnya ke pasaran secara bebas.  Ketiga, dalam kenyataannya sekarang ini para spekulan juga masuk dengan cara menurunkan harga beras sekalipun impor belum dilakukan pemerintah.

Harapannya di saat harga turun seperti ini para spekulan itu akan membeli sebanyak-banyaknya dari petani lalu ditimbun dan akhirnya dijual kembali pada saatnya nanti dengan harga tinggi.

Kebijakan impor beras sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru dan aneh. Selama 40 tahun terakhir Indonesia hanya berhasil mencapai swasembada pangan (beras) hanya 2 (dua) kali yaitu tahun 1984 dan 2004. Selebihnya Indonesia selalu defisit dalam produksi artinya produksi beras selalu lebih kecil dibanding konsumsinya. Maka sebenarnya sangat aneh selalu memperdebatkan impor beras karena hampir tiap tahun selama empat dasawarsa hal tersebut selalu dilakukan.

Perubahan Asumsi
Maka hal  pertama yang perlu dilakukan adalah mengubah asumsi  kebijakan dan benak (mindset)  para pembuat kebijakan perberasan nasional. Selama ini asumsi yang selalu dipakai dalam kebijakan perberasan nasional adalah produksi beras dalam negeri selalu bisa memenuhi kebutuhan atau konsumsi dalam negeri. Asumsi tersebut harus diubah berdasarkan fakta bahwa produksi dalam negeri selalu kurang dibanding konsumsinya. Ada minimal 3 (tiga) alasan yang melatarbelakangi asumsi baru ini.

Pertama, dalam 10 tahun terakhir ini tidak ada peningkatan yang berarti dalam luas panen padi di pulau Jawa dan Bali karena lahan pertanian yang semakin menyempit yang disebabkan oleh konversi lahan sawah ke non-sawah. Di sini yang ditekankan adalah luas panen padi dan lahan sawah di Jawa-Bali karena memang padi hanya bagus ditanam di pulau Jawa-Bali. Menurut BPS  1 hektar lahan sawah di Jawa-Bali bisa menghasilkan 5 ton sekali panen, sementara di luar Jawa dan Bali 1 hektar lahan sawah hanya menghasilkan 2- 3 ton padi sekali panen.

Kedua, lahan-lahan sawah di Jawa dan Bali juga telah mengalami kejenuhan akibat ditanami padi dengan memakai berbagai pupuk dan pestisida. Isitilahnya telah terjadi keletihan tanah (Soil Fatique). Akibatnya produksi padi hanya bertambah 2 persen dalam 15 tahun terakhir (menurut International Rice Research Institute atau IRRI).

Ketiga, sulit diharapkan terobosan dalam bio teknologi yang bisa menghasilkan padi dengan produktivitas tinggi. Padi-padi jenis hibrida yang sekarang ada produktivitasnya masih rendah walaupun sudah lebih tinggi dari padi biasa. Di samping itu isu produksi transgenik yang membahayakan kesehatan juga ikut mengerem upaya pengembangan bibit padi hibrida ini.

Jika dibutktikan dengan angka  maka asumsi baru kebijakan perberasan nasional bahwa Indonesia akan selalu kekurangan produksi juga punya alasan yang cukup kuat. Dengan pertumbuhan penduduk 2,7 juta per tahun dan konsumsi per kapita beras 136 kg maka akan dibutuhkan pasokan beras sebesar 360.000 ton per tahunnya

Impor Tidak Layak
Meskipun bisa dipastikan bahwa Indonesia akan selalu kekurangan produksi dan pasokan beras dibanding konsumsinya namum impor beras memang bukan pilihan kebijakan yang bijaksana untuk mengatasinya. Ada beberapa alasan.

Pertama, kebijakan tersebut dipastikan memang merugikan petani. Meskipun untuk argumen ini masih terjadi perdebatan karena ada yang meneliti dan mengatakan bahwa marjin keuntungan terbesar dalam bisnis perberasan adalah para pedagang.

Kedua, impor beras juga akan menghabiskan valuta asing atau devisa. Padahal kebutuhan devisa yang besar di satu sisi dan pasokan atau cadangan devisa yang terbatas bisa mengakibatkan terjun bebasnya kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.  Ingat, krisis ekonomi tahun 1997 dimulai dari krisis nilai tukar akibat kebutuahn valuta asing yang lebih besar dari pasokan atau cadangannya.

Ketiga, karena beras merupakan barang konsumsi maka dengan mengimpornya nilai tambah yang diciptakan antara lain kesempatan kerja baru juga tidak akan terjadi. Berlainan misalnya kalau yang diimpor adalah bahan baku yang nanti diolah lebih lanjut di dalam negeri maka nilai tambah yang diciptakannya antara lain kesempatan kerja juga besar.

Keempat, impor beras juga berpotensi menimbulkan gonjang-ganjing politik yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat banyak. Pada saat diskusi hangat soal impor beras baru-baru ini, DPR sudah sempat mengajukan hak angket kepada pemerintah. Kalau motivasi anggota DPR tersebut murni untuk kepentingan rakyat (petani) tidak apa-apa. Tetapi bisa saja niat itu ditunggangi oleh kepentingan partai yang ingin membuat gonjang-ganjing politik. Kalau itu terjadi rakyat banyaklah yang akan dirugikan.

Kebijakan Alternatif
Maka kalau impor beras tidak layak sebagai pilihan kebijakan, yang harus dilakukan adalah melakukan kebijakan alternatif selain mengimpor beras. Kebijakan itu adalah kembali mendorong masyarakat untuk kembali mengkonsumsi pangan lokal selain beras. Dalam hal ini kita bisa menontoh Jepang.

Tahun 1960’an konsumsi beras per kapita rakyat Jepang hampir sama dengan Indonesia saat ini yaitu 130 Kg. Namun saat ini konsumsi beras per kapita Jepang sudah menurun menjadi hanya sekitar 65 Kg.

Kunci penurunan konsumsi beras per kapita Jepang adalah dengan mendorong penduduknya menanam dan mengkonsumsi pangan lokal sesuai potnsi lahan di daerah masing-masing. Misalnya di Kagoshima lahannya cocok untuk ubi jalar maka di sana penduduknya didorong untuk menanam dan mengkonsumsi ubi jalar dengan dukungan pemerintah misalnya lewat penelitian dan pengembangan.

Indonesia sebenarnya juga mempunyai banyak pangan lokal. Misalnya Papua dan Maluku dengan sagunya. Madura dengan jagungnya atau daerah Gunung Kidul dengan pangan dari ketela pohon. Sayangnya dahulu setelah Indonesia merdeka terjadi penyeragaman pola makan di seluruh Indonesia dengan menganjurkan makan nasi dari beras di seluruh pelosok nusantara.

Beras telah dipakai sebagai “alat politik” untuk menyatukan seluruh suku di Indonesia. Aklibatnya orang lalu menganggap makan beras lebih beradab dan bergisi dibanding pangan lain yang harganya lebih murah. Dampak dari kebijakan itu masih dirasakan sampai sekarang.

Kembali kepada kebijakan untuk mendorong produksi pangan non-beras maka kalau 1 persen saja lantai hutan di Indonesia ditanamai ubi jalar (yang memang mudah tumbuh di mana saja) maka akan dapat dihasilkan 20 juta ton ubi jalar segar atau 7 juta tepung ubi jalar. Untuk mendorong produksi ini dibutuhkan kebijakan pendukung berupa penelitian dan pengembangan, pembangunan sarana dan parasarana (misal mesin dan gudang penyimpanan), penyediaan bibit, penjaminan pasar, dan lain-lain.

Memang yang paling sulit adalah mendorong orang untuk mengkonsumsi pangan non-beras ini. Maka salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan membuat tepung dari berbagai tanaman pangan non-beras tersebut.

Bentuk tepung ini sangat praktis untuk diolah menjadi makanan apa saja dan masyarakat Indonesia telah terbiasa mengkonsumsi berbagai makanan dari tepung. Baru-baru ini tim peneliti dari sebuah universitas di Jawa Timur telah berhasil mengembangkan tepung ubi kayu dengan karakteristik tertentu yang bisa menggantikan beras dan tepung terigu.

Penelitian-penelitian praktis untuk mengembangkan pangan non-beras seperti itu perlu didukung oleh pemerintah. Di samping itu gerakan makan non-beras seperti telah dipelopori oleh Walikota Bekasi baru-baru ini patut diapresiasi dan dicontoh oleh pemerintah lain.


Nugroho SBM
Staf pengajar FEB Undip

Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Share this article :

Post a Comment

 
Copyright © 2013. I Shunha-modif.web I LPM EDENTS - All Rights Reserved