Akhir-akhir
ini perhatian masyarakat dan para ahli serta pengamat ekonomi tertuju kepada
masalah impor beras. Banyak yang menentang kebijakan impor beras karena
dianggap langkah tersebut merugikan petani.
Logikanya adalah dengan impor beras maka pasokan beras di dalam negeri
akan berlimpah. Maka sesuai hukum ekonomi kalau kebutuhan atau permintaan suatu
barang tetap sementara pasokan atau
penawarannya bertambah maka harga barang tersebut akan turun. Turunnya harga
inilah yang dianggap merugikan petani.
Sumber: Internet |
Tetapi pembelaan pemerintah tersebut tampaknya sulit diterima oleh mereka yang menentang. Pertama, tidak ada jaminan bahwa beras impor tidak akan masuk ke pasaran karena lemahnya pengawasan dari pemerintah. Kedua, langkah tersebut bisa “ditunggangi” oleh beberapa importir untuk mengimpor beras dan akhirnya menjualnya ke pasaran secara bebas. Ketiga, dalam kenyataannya sekarang ini para spekulan juga masuk dengan cara menurunkan harga beras sekalipun impor belum dilakukan pemerintah.
Harapannya di saat harga turun seperti ini para spekulan itu akan
membeli sebanyak-banyaknya dari petani lalu ditimbun dan akhirnya dijual
kembali pada saatnya nanti dengan harga tinggi.
Kebijakan impor beras sendiri sebenarnya bukanlah hal yang baru dan
aneh. Selama 40 tahun terakhir Indonesia hanya berhasil mencapai swasembada
pangan (beras) hanya 2 (dua) kali yaitu tahun 1984 dan 2004. Selebihnya
Indonesia selalu defisit dalam produksi artinya produksi beras selalu lebih
kecil dibanding konsumsinya. Maka sebenarnya sangat aneh selalu memperdebatkan
impor beras karena hampir tiap tahun selama empat dasawarsa hal tersebut selalu
dilakukan.
Perubahan Asumsi
Maka hal pertama yang perlu
dilakukan adalah mengubah asumsi
kebijakan dan benak (mindset)
para pembuat kebijakan perberasan nasional. Selama ini asumsi yang
selalu dipakai dalam kebijakan perberasan nasional adalah produksi beras dalam
negeri selalu bisa memenuhi kebutuhan atau konsumsi dalam negeri. Asumsi
tersebut harus diubah berdasarkan fakta bahwa produksi dalam negeri selalu
kurang dibanding konsumsinya. Ada minimal 3 (tiga) alasan yang melatarbelakangi
asumsi baru ini.
Pertama, dalam 10 tahun terakhir ini tidak ada peningkatan yang
berarti dalam luas panen padi di pulau Jawa dan Bali karena lahan pertanian
yang semakin menyempit yang disebabkan oleh konversi lahan sawah ke non-sawah.
Di sini yang ditekankan adalah luas panen padi dan lahan sawah di Jawa-Bali
karena memang padi hanya bagus ditanam di pulau Jawa-Bali. Menurut BPS 1 hektar lahan sawah di Jawa-Bali bisa
menghasilkan 5 ton sekali panen, sementara di luar Jawa dan Bali 1 hektar lahan
sawah hanya menghasilkan 2- 3 ton padi sekali panen.
Kedua, lahan-lahan sawah di Jawa dan Bali juga telah mengalami
kejenuhan akibat ditanami padi dengan memakai berbagai pupuk dan pestisida.
Isitilahnya telah terjadi keletihan tanah (Soil Fatique). Akibatnya
produksi padi hanya bertambah 2 persen dalam 15 tahun terakhir (menurut International
Rice Research Institute atau IRRI).
Ketiga, sulit diharapkan terobosan dalam bio teknologi yang bisa
menghasilkan padi dengan produktivitas tinggi. Padi-padi jenis hibrida yang
sekarang ada produktivitasnya masih rendah walaupun sudah lebih tinggi dari
padi biasa. Di samping itu isu produksi transgenik yang membahayakan kesehatan
juga ikut mengerem upaya pengembangan bibit padi hibrida ini.
Jika dibutktikan dengan angka
maka asumsi baru kebijakan perberasan nasional bahwa Indonesia akan
selalu kekurangan produksi juga punya alasan yang cukup kuat. Dengan pertumbuhan penduduk 2,7 juta per
tahun dan konsumsi per kapita beras 136 kg maka akan dibutuhkan pasokan beras sebesar 360.000 ton per tahunnya
Impor Tidak Layak
Meskipun bisa dipastikan bahwa Indonesia akan selalu kekurangan
produksi dan pasokan beras dibanding konsumsinya namum impor beras memang bukan
pilihan kebijakan yang bijaksana untuk mengatasinya. Ada beberapa alasan.
Pertama, kebijakan tersebut dipastikan memang merugikan petani.
Meskipun untuk argumen ini masih terjadi perdebatan karena ada yang meneliti
dan mengatakan bahwa marjin keuntungan terbesar dalam bisnis perberasan adalah
para pedagang.
Kedua, impor beras juga akan menghabiskan valuta asing atau devisa.
Padahal kebutuhan devisa yang besar di satu sisi dan pasokan atau cadangan
devisa yang terbatas bisa mengakibatkan terjun bebasnya kurs atau nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS. Ingat, krisis
ekonomi tahun 1997 dimulai dari krisis nilai tukar akibat kebutuahn valuta
asing yang lebih besar dari pasokan atau cadangannya.
Ketiga, karena beras merupakan barang konsumsi maka dengan
mengimpornya nilai tambah yang diciptakan antara lain kesempatan kerja baru
juga tidak akan terjadi. Berlainan misalnya kalau yang diimpor adalah bahan
baku yang nanti diolah lebih lanjut di dalam negeri maka nilai tambah yang
diciptakannya antara lain kesempatan kerja juga besar.
Keempat, impor beras juga berpotensi menimbulkan gonjang-ganjing
politik yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat banyak. Pada saat diskusi
hangat soal impor beras baru-baru ini, DPR sudah sempat mengajukan hak angket
kepada pemerintah. Kalau motivasi anggota DPR tersebut murni untuk kepentingan
rakyat (petani) tidak apa-apa. Tetapi bisa saja niat itu ditunggangi oleh
kepentingan partai yang ingin membuat gonjang-ganjing politik. Kalau itu
terjadi rakyat banyaklah yang akan dirugikan.
Kebijakan Alternatif
Maka kalau impor beras tidak layak sebagai pilihan kebijakan, yang
harus dilakukan adalah melakukan kebijakan alternatif selain mengimpor beras.
Kebijakan itu adalah kembali mendorong masyarakat untuk kembali mengkonsumsi
pangan lokal selain beras. Dalam hal ini kita bisa menontoh Jepang.
Tahun 1960’an konsumsi beras per kapita rakyat Jepang hampir sama
dengan Indonesia saat ini yaitu 130 Kg. Namun saat ini konsumsi beras per
kapita Jepang sudah menurun menjadi hanya sekitar 65 Kg.
Kunci penurunan konsumsi beras per kapita Jepang adalah dengan
mendorong penduduknya menanam dan mengkonsumsi pangan lokal sesuai potnsi lahan
di daerah masing-masing. Misalnya di Kagoshima lahannya cocok untuk ubi jalar
maka di sana penduduknya didorong untuk menanam dan mengkonsumsi ubi jalar
dengan dukungan pemerintah misalnya lewat penelitian dan pengembangan.
Indonesia sebenarnya juga mempunyai banyak pangan lokal. Misalnya
Papua dan Maluku dengan sagunya. Madura dengan jagungnya atau daerah Gunung Kidul dengan pangan dari
ketela pohon. Sayangnya dahulu setelah Indonesia merdeka terjadi penyeragaman
pola makan di seluruh Indonesia dengan menganjurkan makan nasi dari beras di
seluruh pelosok nusantara.
Beras telah dipakai sebagai “alat politik” untuk menyatukan seluruh
suku di Indonesia. Aklibatnya orang lalu menganggap makan beras lebih beradab
dan bergisi dibanding pangan lain yang harganya lebih murah. Dampak dari
kebijakan itu masih dirasakan sampai sekarang.
Kembali kepada kebijakan untuk mendorong produksi pangan non-beras
maka kalau 1 persen saja lantai hutan di Indonesia ditanamai ubi jalar (yang
memang mudah tumbuh di mana saja) maka akan dapat dihasilkan 20 juta ton ubi
jalar segar atau 7 juta tepung ubi jalar. Untuk mendorong produksi ini
dibutuhkan kebijakan pendukung berupa penelitian dan pengembangan, pembangunan
sarana dan parasarana (misal mesin dan gudang penyimpanan), penyediaan bibit,
penjaminan pasar, dan lain-lain.
Memang yang paling sulit adalah mendorong orang untuk mengkonsumsi
pangan non-beras ini. Maka salah satu alternatif yang bisa ditempuh adalah
dengan membuat tepung dari berbagai tanaman pangan non-beras tersebut.
Bentuk tepung ini sangat praktis untuk diolah menjadi makanan apa
saja dan masyarakat Indonesia telah terbiasa mengkonsumsi berbagai makanan dari
tepung. Baru-baru ini tim peneliti dari sebuah universitas di Jawa Timur telah
berhasil mengembangkan tepung ubi kayu dengan karakteristik tertentu yang bisa
menggantikan beras dan tepung terigu.
Penelitian-penelitian praktis untuk mengembangkan pangan non-beras
seperti itu perlu didukung oleh pemerintah. Di samping itu gerakan makan
non-beras seperti telah dipelopori oleh Walikota Bekasi baru-baru ini patut
diapresiasi dan dicontoh oleh pemerintah lain.
Nugroho SBM
Staf pengajar
FEB Undip
Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Artikel ini dimuat juga dalam Majalah Edents dengan tema Pembangunan Vs Degradasi Lingkungan
Post a Comment