Nasionalisme. KBBI mengartikan nasionalisme sebagai (1) paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan; (2) kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.
Ada beberapa kata kunci yang bisa kita ambil dari definisi nasionalisme menurut KBBI tersebut : mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa semangat kebangsaan. Dan jika memilih salah satu dari sekian kata -penting- berkaitan dengan nasionalisme tadi, saya akan memilih: kemakmuran.
Tanpa membuka KBBI pun semua orang akan mengetahui apa yang dimaksud dengan kemakmuran. Kemakmuran berkaitan dengan kesejahteraan. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan atau kemakmuran pada awalnya diidentikkan dengan masalah ekonomi. Negara dengan tingkat pendapatan perkapita tinggi dianggap lebih sejahtera. Namun kini banyak pihak menyadari terdapat bias pada pengukuran kesejahteraan melalui ukuran GDP (Gross Domestic Product) Amartya Sen, Joseph Stiglitz dan Jean-Paul Fitousi dalam buku (yang berasal dari laporan penelitian) “Mengukur Kesejahteraan” menganggap GDP tidak mampu mengakomodir ukuran kesejahteraan masyarakat suatu negara. Oleh karena itu, muncullah ukuran kesejahteraan yang lebih kompleks, tidak hanya meliputi bidang ekonomi seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Indonesia = Jawa?
Secara kasat mata, setiap orang Indonesia yang pernah menginjakkan kaki di pulau Jawa dan luar Jawa tentu dapat membedakan perbedaan antarkeduanya. Pulau Jawa dan Madura dihuni oleh hampir 138 juta jiwa. Artinya, 58% dari total penduduk Indonesia berada di Pulau yang tidak lebih luas daripada provinsi Kalimantan Tengah. Selain kepadatan penduduk, Jawa dan luar Jawa dibedakan dengan kualitas dan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana.
Yap. Tidak jarang Indonesia dianggap tak lebih dari Pulau Jawa karena begitu timpangnya pembangunan di Jawa dan luar Jawa. Biasanya, penduduk asal daerah yang mengalami sisi yang dirugikan dari ketimpangan pembangunan (termasuk saya) yang gencar menyuarakan Indonesia seharusnya lebih dari sekedar Jawa. Pembangunan Indonesia seharusnya tidak hanya terpusat di Jawa hanya karena hampir 60% penduduknya berada di Jawa.
Ironisnya, bidang dasar yang merupakan elevator menuju pemerataan pembangunan pun terpusat di Jawa. Ya, silahkan cek kualitas bidang pendidikan dan kesehatan di negeri ini. Perguruan tinggi yang selalu merajai 5 perguruan tinggi terbaik versi apapun, tak pernah berasal dari luar Jawa (semoga saya tidak salah). Kesehatan? Apakah ada masyarakat di Jawa yang sakit kemudian dirujuk di rumah sakit yang letaknya di luar Jawa? Semoga ada.
Keterbatasan Para Pembatas
Ditengah kondisi negara dengan pembangunan timpang, Indonesia dihadapkan dengan seringnya kabar miring dari para pembatas negeri ini. Dari perbatasan Indonesia-Malaysia, kita dapati berbagai berita mengenai dualisme KTP, penggunaan Ringgit sebagai alat jual beli, hingga perpindahan status kewarganegaraan. Tentu saja hal ini semakin membuat banyak penduduk Indonesia membenci Malaysia setelah kasus Sipadan-Ligitan, Reog Ponorogo, lagu rasa sayange, tari tor-tor, dan lain-lain. Bahkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menyatakan Malaysia mengklaim 7 budaya asli Indonesia sejak 2007.
Tentu para pihak pemegang ideologi nasionalisme menyayangkan perbuatan penduduk perbatasan yang dianggap melupakan tanah tumpah darah mereka. Mereka, para pembatas, dianggap tidak nasionalis hanya karena menggunakan Ringgit, menjual dan membeli kebutuhan pokok di negeri seberang.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, Indonesia pantas berterima kasih pada Malaysia dalam hal kesejahteraan para pembatas negeri. Apa pasal? Tujuan negara ini tentu tidak lain adalah kesejahteraan warga negaranya. Namun ketimpangan pembangunan telah membunuh mimpi negeri ini menyejahterakan penduduk perbatasannya. Media massa dan elektronik tidak jarang memberitakan jauhnya perbedaan antara sisi Indonesia dan sisi Malaysia di garis perbatasan. Sebagai beranda negara, penduduk perbatasan bersahabat dengan segala keterbatasan. Dari listrik hingga akses ke negeri sendiri. Masalah kesulitan akses kemudian memberikan efek pengganda berupa jual beli hasil pertanian di pekarangan rumah penduduk perbatasan ke negeri seberang. Karena menjual dan membeli di Malaysia, mereka menggunakan Ringgit. Dan karena menggunakan Ringgit, mereka mendapat kesejahteraan lebih baik. Mengapa? Jika mereka menggunakan Rupiah, mereka jual ke pasar negeri sendiri, mereka harus menempuh berjam-jam, dan biaya yang lebih besar karenanya. Maka sudah dapat dipastikan dalam hitung-hitungan ekonomi, keuntungan mereka berkurang. Maka efek dominonya? Jelas. Kesejahteraan. Ya, para pemimpin negeri ini harus berterima kasih kepada Malaysia dalam konteks ini.
Kecaman terhadap penduduk perbatasan, menurut saya, sudah selayaknya diminimalisir. Kesalahan penduduk perbatasan baru dapat ditingkatkan hingga level atas hanya jika negara sudah memberikan usaha memperbaiki taraf hidup para pambatas!
Mereka hanya penduduk yang ingin merasakan hidup lebih baik, lebih layak, dalam keadaan negeri sendiri sulit menyediakan kebutuhan dasar mereka. Padahal di daerah yang jauh di mata mereka, perkotaan, para pejabat hidup bergelimang harta dengan gaya hidup level selebritis. Mereka hanya anak ayam yang seolah kehilangan induknya. Sehingga mencari makan dengan intuisi prbadi, bukan?
Maka sudah selayaknya pemilik gelar nasionalis di negeri sejuta mimpi ini menyadari, tidakkah sulit berada di perbatasan? Tidakkah itu berbanding terbalik dengan segala kemudahan dan ketersediaan yang ada di perkotaan? Dan jika para (perasa) nasionalis hanya merasakan indahnya segala ketersediaan yang disuguhkan negara, kemudian mengklaim penduduk perbatasan tidak nasionalis, saya persilahkan dengan segala hormat untuk introspeksi diri!
Tengoklah daerah perbatasan dan bayangkan kita tinggal disana. Selanjutnya tanyakan pada hati kita, masih tidak adakah efek saling meniadakan antara mempertahankan hidup dengan cinta pada negara?
Masihkah kita gunakan rupiah jika dengan ringgit kita bisa beli barang dengan harga lebih rendah? Masihkah kita membeli barang di pasar Indonesia jika pasar Malaysia menawarkan barang dengan harga lebih murah? Masihkah kita jual produk kita di negara tercinta jika kita bisa merugi karenanya? Masihkah kita mengunjungi pasar dalam negeri yang membutuhkan waktu seharian, sedangkan pasar negara tetangga lebih mudah ditemukan? Masihkah kita mau hidup dengan kesulitan, jika ketersediaan bisa dijangkau dalam kemudahan?
Jangan salahkan penduduk perbatasan. Mereka hanya manusia yang ingin hidup dalam kenyamanan, seperti yang dirasakan penduduk perkotaan. Terkadang mereka harus memilih antara hidup dalam kenyamanan, atau di cap sebagai pecundang negarawan. Mereka harus memilih, mencintai negara atau bertahan hidup dengan taraf lebih baik. Jika kita di posisi mereka, apa yang kita pikirkan? Apa yang kita lakukan?
Ada beberapa kata kunci yang bisa kita ambil dari definisi nasionalisme menurut KBBI tersebut : mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa semangat kebangsaan. Dan jika memilih salah satu dari sekian kata -penting- berkaitan dengan nasionalisme tadi, saya akan memilih: kemakmuran.
Tanpa membuka KBBI pun semua orang akan mengetahui apa yang dimaksud dengan kemakmuran. Kemakmuran berkaitan dengan kesejahteraan. Dalam teori ekonomi pembangunan, kesejahteraan atau kemakmuran pada awalnya diidentikkan dengan masalah ekonomi. Negara dengan tingkat pendapatan perkapita tinggi dianggap lebih sejahtera. Namun kini banyak pihak menyadari terdapat bias pada pengukuran kesejahteraan melalui ukuran GDP (Gross Domestic Product) Amartya Sen, Joseph Stiglitz dan Jean-Paul Fitousi dalam buku (yang berasal dari laporan penelitian) “Mengukur Kesejahteraan” menganggap GDP tidak mampu mengakomodir ukuran kesejahteraan masyarakat suatu negara. Oleh karena itu, muncullah ukuran kesejahteraan yang lebih kompleks, tidak hanya meliputi bidang ekonomi seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Indonesia = Jawa?
Secara kasat mata, setiap orang Indonesia yang pernah menginjakkan kaki di pulau Jawa dan luar Jawa tentu dapat membedakan perbedaan antarkeduanya. Pulau Jawa dan Madura dihuni oleh hampir 138 juta jiwa. Artinya, 58% dari total penduduk Indonesia berada di Pulau yang tidak lebih luas daripada provinsi Kalimantan Tengah. Selain kepadatan penduduk, Jawa dan luar Jawa dibedakan dengan kualitas dan ketersediaan fasilitas sarana dan prasarana.
Yap. Tidak jarang Indonesia dianggap tak lebih dari Pulau Jawa karena begitu timpangnya pembangunan di Jawa dan luar Jawa. Biasanya, penduduk asal daerah yang mengalami sisi yang dirugikan dari ketimpangan pembangunan (termasuk saya) yang gencar menyuarakan Indonesia seharusnya lebih dari sekedar Jawa. Pembangunan Indonesia seharusnya tidak hanya terpusat di Jawa hanya karena hampir 60% penduduknya berada di Jawa.
Ironisnya, bidang dasar yang merupakan elevator menuju pemerataan pembangunan pun terpusat di Jawa. Ya, silahkan cek kualitas bidang pendidikan dan kesehatan di negeri ini. Perguruan tinggi yang selalu merajai 5 perguruan tinggi terbaik versi apapun, tak pernah berasal dari luar Jawa (semoga saya tidak salah). Kesehatan? Apakah ada masyarakat di Jawa yang sakit kemudian dirujuk di rumah sakit yang letaknya di luar Jawa? Semoga ada.
Keterbatasan Para Pembatas
Ditengah kondisi negara dengan pembangunan timpang, Indonesia dihadapkan dengan seringnya kabar miring dari para pembatas negeri ini. Dari perbatasan Indonesia-Malaysia, kita dapati berbagai berita mengenai dualisme KTP, penggunaan Ringgit sebagai alat jual beli, hingga perpindahan status kewarganegaraan. Tentu saja hal ini semakin membuat banyak penduduk Indonesia membenci Malaysia setelah kasus Sipadan-Ligitan, Reog Ponorogo, lagu rasa sayange, tari tor-tor, dan lain-lain. Bahkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menyatakan Malaysia mengklaim 7 budaya asli Indonesia sejak 2007.
Tentu para pihak pemegang ideologi nasionalisme menyayangkan perbuatan penduduk perbatasan yang dianggap melupakan tanah tumpah darah mereka. Mereka, para pembatas, dianggap tidak nasionalis hanya karena menggunakan Ringgit, menjual dan membeli kebutuhan pokok di negeri seberang.
Padahal, jika ditelisik lebih jauh, Indonesia pantas berterima kasih pada Malaysia dalam hal kesejahteraan para pembatas negeri. Apa pasal? Tujuan negara ini tentu tidak lain adalah kesejahteraan warga negaranya. Namun ketimpangan pembangunan telah membunuh mimpi negeri ini menyejahterakan penduduk perbatasannya. Media massa dan elektronik tidak jarang memberitakan jauhnya perbedaan antara sisi Indonesia dan sisi Malaysia di garis perbatasan. Sebagai beranda negara, penduduk perbatasan bersahabat dengan segala keterbatasan. Dari listrik hingga akses ke negeri sendiri. Masalah kesulitan akses kemudian memberikan efek pengganda berupa jual beli hasil pertanian di pekarangan rumah penduduk perbatasan ke negeri seberang. Karena menjual dan membeli di Malaysia, mereka menggunakan Ringgit. Dan karena menggunakan Ringgit, mereka mendapat kesejahteraan lebih baik. Mengapa? Jika mereka menggunakan Rupiah, mereka jual ke pasar negeri sendiri, mereka harus menempuh berjam-jam, dan biaya yang lebih besar karenanya. Maka sudah dapat dipastikan dalam hitung-hitungan ekonomi, keuntungan mereka berkurang. Maka efek dominonya? Jelas. Kesejahteraan. Ya, para pemimpin negeri ini harus berterima kasih kepada Malaysia dalam konteks ini.
Kecaman terhadap penduduk perbatasan, menurut saya, sudah selayaknya diminimalisir. Kesalahan penduduk perbatasan baru dapat ditingkatkan hingga level atas hanya jika negara sudah memberikan usaha memperbaiki taraf hidup para pambatas!
Sumber: Internet |
Maka sudah selayaknya pemilik gelar nasionalis di negeri sejuta mimpi ini menyadari, tidakkah sulit berada di perbatasan? Tidakkah itu berbanding terbalik dengan segala kemudahan dan ketersediaan yang ada di perkotaan? Dan jika para (perasa) nasionalis hanya merasakan indahnya segala ketersediaan yang disuguhkan negara, kemudian mengklaim penduduk perbatasan tidak nasionalis, saya persilahkan dengan segala hormat untuk introspeksi diri!
Tengoklah daerah perbatasan dan bayangkan kita tinggal disana. Selanjutnya tanyakan pada hati kita, masih tidak adakah efek saling meniadakan antara mempertahankan hidup dengan cinta pada negara?
Masihkah kita gunakan rupiah jika dengan ringgit kita bisa beli barang dengan harga lebih rendah? Masihkah kita membeli barang di pasar Indonesia jika pasar Malaysia menawarkan barang dengan harga lebih murah? Masihkah kita jual produk kita di negara tercinta jika kita bisa merugi karenanya? Masihkah kita mengunjungi pasar dalam negeri yang membutuhkan waktu seharian, sedangkan pasar negara tetangga lebih mudah ditemukan? Masihkah kita mau hidup dengan kesulitan, jika ketersediaan bisa dijangkau dalam kemudahan?
Jangan salahkan penduduk perbatasan. Mereka hanya manusia yang ingin hidup dalam kenyamanan, seperti yang dirasakan penduduk perkotaan. Terkadang mereka harus memilih antara hidup dalam kenyamanan, atau di cap sebagai pecundang negarawan. Mereka harus memilih, mencintai negara atau bertahan hidup dengan taraf lebih baik. Jika kita di posisi mereka, apa yang kita pikirkan? Apa yang kita lakukan?
Hendy Aprilian Hidayat
Pemimpin Umum LPM Edents 2012/2013
+ comments + 1 comments
Bagaimana status kewarganegaraan dengan orang indonesia yg tinggal di perbatasan malaysia? mereka dengan mudah pergi ke negara tersebut dengan mudah, lalu bagaimana status dan kedudukan mereka sebagai WNI?
Post a Comment