Indonesia merupakan
negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai
petani. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor dengan daya serap pekerja
sebesar 44,5% (Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanin, 2006). Meski
demikian, keberlangsungan sektor ini tentu tidak terlepas dari sektor
nonpertanian yang saling terkait. Industri pupuk merupakan salah satu sektor
yang mempengaruhi ketersediaan faktor produksi pertanian.
Perkembangan ilmu
pertanian dan ledakan populasi manusia menyebabkan kebutuhan pangan
meningkat. Sehingga, dewasa ini revolusi hijau di Indonesia memberikan hasil
yang signifikan terhadap pemenuhan kebutuhan pangan. Hal ini dapat dilihat dari
meningkatnya penggunaan pupuk kimia sintetis maupun pestisida. Dengan adanya
hal tersebut ditemukan berbagai permasalahan yang disebabkan kesalahan
manajemen di lahan pertanian seperti terjadinya pencemaran pupuk kimia maupun
pestisida, penurunan kualitas lahan, dan penurunan kesehatan manusia akibat kelebihan
pemakaian bahan tersebut (Awalia, 2012).
Tak lepas dari ekspansi
yang ada, Mangkang Kecamatan Tugu, Kota Semarang pun ikut terjerembab dalam
revolusi hijau. Penggunaan pupuk kimia telah menjadi hal yang lazim bagi sektor
pertanian di Mangkang. Bahkan ketersediaan pupuk kimia sangat mempengaruhi
proses pertanian disana, jika tidak terdapat supply pupuk kimia yang mencukupi maka petani akan kebingungan mencari
pupuk.
Menurut Samuelson, apabila
persedian supply suatu barang dalam
pasar kurang dari jumlah permintaaan atau dalam hal ini demand mengalami kenaikan, maka akan terjadi kenaikan harga barang
tersebut. Hal itulah yang terjadi di Indonesia, kenaikan harga pupuk sebagai
akibat dari meningkatnya permintaan akan pupuk kimia yang tidak diimbangi
dengan persediaan yang mencukupi. Kenaikan harga pupuk juga membuat petani resah
karena pemerintah ikut menaikkan harga eceran pupuk sebesar 20 hingga 40 persen
(Seponada, 2010). Namun, harga jual dari hasil panen tidak selalu mengikuti
kenaikan harga sarana produksi tersebut, akibatnya pendapatan petani menurun.
Kunci dari permasalahan
ini seharusnya pada supply pupuk
tanpa adanya variabel dummy. Pupuk
sebenarnya terbagi menjadi dua, yaitu pupuk anorganik yang dalam hal ini pupuk
kimia termasuk di dalamnya dan pupuk organik yang terbuat dari hewan dan
tumbuhan yang telah membusuk. Kesadaran petani untuk menggunakan pupuk organik
dewasa ini dirasa masih kurang seperti halnya di Mangkang, lahan sawahnya masih
menggunakan pupuk kimia.
Menurut para ahli, jika
dibandingkan dengan pupuk anorganik, penggunaan pupuk organik sebenarnya dapat
meningkatkan pendapatan petani. Harga pupuk organik yang relatif lebih murah
daripada pupuk anorganik membuat total biaya produksi menurun, sehingga harga
jual bahan pangan organik di pasaranpun lebih tinggi daripada anorganik.
Kesadaran penggunaan
pupuk organik haruslah segera digugah, jangan menunggu kiamat baru bergerak.
Menjaga lingkungan adalah tanggungjawab bersama, bukan hanya pemerintah yang
mempunyai kewenangan ini. Pihak-pihak nonpemerintah seperti swasta, praktisi
maupun akademisi juga harus melek peduli lingkungan.
Petani sebagai pelaku
utama dalam proses produksi seharusnya mulai sadar untuk menggunakan pupuk
organik sebagai bahan pemupukan lahan. Pemerintah juga harus memberikan
himbauan yang pro terhadap lingkungan dan petani. Lebih lanjut lagi harus
diintegrasikan oleh suatu badan atau lembaga yang dapat mengelola pupuk organik
dalam skala besar.
Bumi yang sudah tua ini
tidak tahu kapan akan kehabisan waktunya, namun tangan-tangan kita ini dapat
menjaga bumi agar kita dapat hidup berdampingan dengan harmonis. Sekarang
waktunyalah dan sekarang saatnyalah.
Alan Ray Farandy
Magang 2012
Post a Comment